Skip to main content

HUKUM SEPUTAR ZAKAT FITRAH

*HUKUM SEPUTAR ZAKAT FITRAH*

Oleh: Abdul Hanif

Zakat fitrah merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dari pelaksanaan ibadah shaum ramadhan yang befungsi sebagai pembersih jiwa setiap muslim yang shaum. Zakat fitrah hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan, dewasa maupun anak-anak, merdeka maupun budak, sebagaimana hadits berikut:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin As-Sakkan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdham telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari 'Umar bin Nafi' dari bapaknya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied) " (HR. Bukhari)
Dalam tataran pelaksannannya, saat ini kita menyaksikan adanya khilafiyah (perbedaan pendapat)terutama menyangkut masalah teknis pelaksanaanya. Bagaimana kita mendudukan permasalahan tersebut?

Insya Allah tulisan ini akan mencoba mengurai dan memaparkan berkenaan dengan khilafiyah tersebut, sekaligus mengambil pendapat terkuat (rajih) menurut hemat kami.

Takaran dan timbangan sha’

Dari Muhammad bin Abdulah ats-Tsaqafi berkata, Umar bin Khattab menetapkan tanah kharaj atas setiap jaribnya harus dibayar 1 dirham dan 1 qafiz, baik tanah itu ditanamai atau tidak. Berkata Abu Ubaid dalam kita al-Amwal, 1 sha’ = 4 mud dan 1 mud = 1 1/3 rithl baqhdad. Maka 1 sha’ = 5 1/3 rithl. Dan ini adalah ukuran sha’ pada masa Rasululloh saw sebagaimana dikatakan Malik dan penduduk Hijaz
Dengan demikian konversi takaran dan timbangan ini dengan gram dan kilogram dari komoditi gandum dapat dijelaskan berikut :

1 mud = 1 1/3 rithl baqdad
1 mud = 1 1/3 rithl x 408 gram ukuran rithl = 544 gram timbangan 1 mud gandum
1 sha’ = 4 mud takaran
1 sha’ = 4 mud x 544 gram = 2176 gram,timbangan 1 sha’ gandum atau = 2, 176 kg, timbangan1 sha’ gandum
1 qafiz = 12 sha’ takaran
1 qafiz = 12 sha’ x 2176 gram = 26112 gramtimbangan 1 qafiz gandum, atau = 26, 112 kg timbangan 1 qafiz gandum
1 wasaq dari gandum = 60 sha’ x 2176 gram = 130560 gram, timbangan 1 wasaq gandum, atau = 130, 56 kg timbangan 1 wasaq gandum
Dengan demikian ukuran 1 sha’ = 4 mud (1 mud = 544 gram) = 2,176 kg = 2,18 kg

Sementara untuk beras, karena berat jenisnya berbeda dengan gandum maka, dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.

Menurut Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al-Fiqhul Wadhih Juz 2 hal. 10, 1 sha’ beras itu setara dengan 2187,5 gram beras. Beliau menyatakan :

وَيُخْرِجُ اْلمُزَكِيُ عَنْ كُلِّ شَخْسٍ صَاعًا مِنَ اْلأَرُزِ وَقَدْرُهُ كِلُوَانِ وَمِائَةٌ وَسَبْعَةٌ وَثَمَانُوْنَ وَنِصْفُ قِرَامٍ

“Muzakki mengeluarkan (zakat fitrah) untuk setiap jiwa sebesar satu sha’ beras, dan kadarnya (beratnya) adalah dua kilogram dan seratus delapan puluh tujuh setengah gram (2187,5 gram/ 2,18 kg).” (Mahmud Yunus, Al-Fiqhul Wadhih, Juz 2 hal. 10).

Ada juga yang berpendapat bahwa 1 sha’ beras setara dengan 2,4 kg, ada juga yang berpendapat setara dengan 2,5 kg, ada juga yang berpendapat setara 2,7 kg, 2,8 kg, bahkan pendapat terbaru ada yang menyatakan bahwa 1 sha’ beras setara dengan 3, kg, hal ini pun didasarkan pada keputusan kerajaan Arab Saudi. tetapi yang menjadi jumhur ulama di Indoenesia bahwa 1 sha’ beras itu setara dengan 2,5 kg.

Sekedar saran, sebaiknya menakar 1 sha’ beras lebih baik dengan takaran sha’ (satuan volume), hal ini dalam rangka menghilangkan perbedaan ukuran berat (kg). karena jika 1 sha’ beras diukur dan dikonversikan ke dalam timbangan satuan berat (kg) maka setiap jenis beras pasti akan berbeda ukurannya dalam kg meskipun sama-sama 1 sha’.

Untuk lebih jelasnya lagi mengenai ukuran timbangan dan takaran, silahkan merujuk pada kitab al-Amwal fii ad-Daulah al-Khilafah karya syaikh Abdul Qadim Zallum.

*Pembayaran zakat fitrah*

Jumhur ulama sepakat bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan dalam bentuk makanan pokok (beras, dll), kurma, gandum, atau kismis (anggur yang dikeringkan)  sebagaimana telah dijelaskan dalam hadits-hadits berikut:

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُكُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Zaid bin Aslam dari 'Iyadh bin 'Abdullah bin Sa'ad bin Abu Sarhi Al 'Amiriy bahwa dia mendengar Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu berkata: "Kami mengeluarkan zakat fitrah satu sha' dari makanan pokok atau satu sha' dari gandum atau satu sha' dari kurma atau satu sha' dari keju (mentega) atau satu sha' dari kismis (anggur kering) ". (HR. Mutafaqun ‘alayhi)
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ  رضي الله عنه قالكُنَّا نُعطها فِي زمن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ

Dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa pada zaman Nabi Shallallaahu 'alaihi wasallam kami mengeluarkan zakat fitrah sebesar satu sha' dari makanan pokok atau dari gandum, atau kurma, atau anggur kering. (HR. Mutafaqun ‘alayhi)
 حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ إِذْ كَانَ فِينَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَلَمْ نَزَلْ نُخْرِجُهُ حَتَّى قَدِمَ مُعَاوِيَةُ الْمَدِينَةَ فَتَكَلَّمَ فَكَانَ فِيمَا كَلَّمَ بِهِ النَّاسَ إِنِّي لَأَرَى مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ قَالَ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ قَالَ أَبُو سَعِيدٍ فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَالْعَمَلُ عَلَى هَذَا عِنْدَ بَعْضِ أَهْلِ الْعِلْمِ يَرَوْنَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ صَاعًا وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ و قَالَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَغَيْرِهِمْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ صَاعٌ إِلَّا مِنْ الْبُرِّ فَإِنَّهُ يُجْزِئُ نِصْفُ صَاعٍ وَهُوَ قَوْلُ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ وَابْنِ الْمُبَارَكِ وَأَهْلُ الْكُوفَةِ يَرَوْنَ نِصْفَ صَاعٍ مِنْ بُرٍّ
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan telah menceritakan kepada kami Waki' dari Sufyan dari Zaid bin Aslam dari 'Iyadl bin Abdullah dari Abu Sa'id Al Khudri bahwa pada zaman Rasululloh Shallallaahu 'alaihi wasallam kami mengeluarkan zakat fitrah sebesar satu sha' dari makanan pokok atau dari gandum, atau kurma, atau anggur kering, atau aqith, hal ini terus berlangsung sampai datangnya Mu'awiyah ke Madinah dan berkhutbah di hadapan manusia, diantara isi khutbahnya, Saya berpendapat bahwa dua mud gandum syam sama dengan satu sha' kurma dalam zakat fitrah. kemudian manusia memilih pendapatnya Mu'awyah, namun saya tetap mengeluarkannya satu sha' seperti dahul. Abu 'Isa berkata, ini merupakan hadits hasan shahih dan diamalkan oleh sebagian ulama seperti Syafi'i, Ahmad dan Ishaq. Sebagian para ulama dari kalangan sahabat Nabi Shalallahu 'alaihi wa salam dan yang lainnya berpendapat bahwa setiap makanan (zakatnya) satu sha', kecuali gandum yang hanya setengah sha', ini adalah perkataan Sufyan Ats Tsauri dan Abdullah bin Al Mubarak dan penduduk Kufah berpendapat bahwa zakat fitrah sebesar setengah sha' dari gandum. (HR. Tirmidzi)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Nafi' bahwa 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami tentang zakat fitrah berupa satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum". Berkata, 'Abdullah radliallahu 'anhu: "Kemudian orang-orang menyamakannya dengan dua mud untuk biji gandum". (HR. Bukhari)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin As-Sakkan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdham telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari 'Umar bin Nafi' dari bapaknya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied) " (HR. Bukhari)
Adapun mazhab maliki berpendapat boleh membayar zakat fitrah dengan membayar harganya (dengan uang). Tapi itupun dengan ketetapan bahwa satu sha’ dalam mazhab maliki adalah setara dengan 3,8 kg. Artinya, jika kita mengambil pendapat dari mazhab maliki yaitu membayar zakat fitrah dengan boleh uang, maka uang yang harus dibayarkan adalah setara dengan takaran 3,8 kg. Permasalahannya saat ini adalah mereka yang membayar zakat fitrah dengan uang tetapi setara dengan takaran 2,5 kg, maka hal tesebut keliru. Seharusnya jika konsisten mengambil pendapat dari mazhab maliki, maka uang yang harus dibayarkan adalah setara dengan 3,8 kg, bukan 2,5 kg.

Mazhab maliki membolehkan membayar zakat fitrah dengan uang disandarkan kepada hadits berikut:

Cukupilah mereka pada hari ini dari meminta-minta (HR. Baihaqi)

Namun menurut imam an-Nawawi,  hadits tersebut dhaif (lemah) pada salah satu rawinya sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. (al-Majmu’ syarah Muhadzdzab, 6/126)

Maka menurut hemat kami, pendapat yang rajih (lebih kuat) adalah pendapat jumhur ulama yang mewajibkan zakat fitrah dengan bahan makanan sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadits-hadits di atas.

*_Waktu mengeluarkan/membayar zakat fitrah_*


Rasululloh saw bersabda:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Muhammad bin As-Sakkan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdham telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ja'far dari 'Umar bin Nafi' dari bapaknya dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fitrah satu sha' dari kurma atau sha' dari gandum bagi setiap hamba sahaya (budak) maupun yang merdeka, laki-laki maupun perempuan, kecil maupun besar dari kaum Muslimin. Dan Beliau memerintahkan agar menunaikannya sebelum orang-orang berangkat untuk shalat ('Ied) " (HR. Bukhari)
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
Telah menceritakan kepada Kami Mahmud bin Khalid Ad Dimasyqi dan Abdullah bin Abdurrahman as-Samarqandi berkata; telah menceritakan kepada Kami Marwan, Abdullah berkata; telah menceritakan kepada Kami Abu Yazid Al Khaulani ia adalah syekh yang jujur, dan Ibnu Wahb telah meriwayatkan darinya, telah menceritakan kepada Kami Sayyar bin Abdurrahman, Mahmud Ash Shadafi berkata; dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Hakim)
Berkenaan dengan waktu pembayaran zakat fitrah, para ulama madzhab telah berbeda pendapat. Hal ini disebabkan frasa “qobla khurujinnasi ilash-sholati” (sebelum manusia keluar ke tempat shalat) memberikan makna yang tidak spesifik sehingga berpotensi terjadinya perbedaan pendapat. Imam Hanafi berpendapat zakat fitrah wajib dibayarkan ketika terbit fajar pada hari pertama bulan Syawal. Imam Hanbali berpendapat zakat fitrah dikeluarkan ketika terbenamnya matahari pada malam hari raya. Sementara menurut qaul jadid imam Syafi’i zakat fitrah wajib dikeluarkan pada waktu terbenamnya matahari. Namun imam Syafi’i membolehkan mengeluarkan zakat fitrah sejak hari pertama bulan Ramadhan. Bahkan empat imam madzhab sepakat tentang bolehnya mengeluarkan zakat fitrah sehari atau dua hari sebelum hari raya.

*Kesimpulannya bahwa zakat fitrah dianggap sah jika dikeluarkan/dibayarkan paling lambat pada saat terbitnya fajar pada hari pertama bulan syawal sebelum melaksanakan shalat ied. Jika dibayarkan setelah shalat ied, maka dianggap shadaqah biasa*.

Do’a ketika menerima penyerahan zakat

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ : { كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ : اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Dari Abdillah bin Abi Aufa ia berkata: adalah Rasulullah saw ketika suatu kaum datang menyerahkan zakat/shadaqoh mereka maka Rasulullah saw berdo’a “Allohumma sholli ‘alayhim”. (HR. Mutafaqun ‘alayh)

Dalam riwayat lain yang diriwayatkan oleh imam an-Nasa’i disampaikan dengan redaksi do’a yang berbeda:

{ أَنَّهُ قَالَ فِي رَجُلٍ بَعَثَ بِالزَّكَاةِ : اللَّهُمَّ بَارِكْ فِيهِ وَفِي أَهْلِهِ }

sesungguhnya Rasululloh saw berdo’a bagi seseorang yang menyerahkan zakatnya “Allohumma baarik fiihi wa fii ahlihi”.

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ فُلَانٍ فَأَتَاهُ أَبِي بِصَدَقَتِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي أَوْفَى
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin 'Umar telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Amru dari 'Abdullah bin Abu Awfaa berkata; Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bila suatu kaum datang kepadanya dengan membawa shadaqah mereka, Beliau mendo'akannya: "Allahumma shalli 'alaa aali fulan" (Ya Allah berilah shalawat kepada keluarga fulan"). Maka bapakku mendatangi Beliau dengan membawa zakatnya., maka Beliau mendo'akanya: "Allahumma shalli 'alaa aalii abu awfaa". (Ya Allah, berilah shalawat kepada keluarga Abu Awfaa"). (HR. Bukhari)
Bisa juga dengan redaksi:

{ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى آلِ أَبِي فُلَانٍ }

Dalam kitab subulus salam dijelaskan bahwa hadits ini adalah dalil kebolehan shalawat selain kepada nabi. Tujuannya adalah untuk menambah-nambah kebaikan dan keberkahan pada zakat yang telah dikeluarkan.

Mustahiq/ashnaf zakat fitrah

Berbeda halnya dengan zakat mal (harta), *mustahiq zakat fitrah telah ditakhsish (dikhususkan) oleh dalil hanya bagi fakir miskin*. Sebagaimana sabda Rasululloh saw:

حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ الدِّمَشْقِيُّ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ السَّمْرَقَنْدِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنَا أَبُو يَزِيدَ الْخَوْلَانِيُّ وَكَانَ شَيْخَ صِدْقٍ وَكَانَ ابْنُ وَهْبٍ يَرْوِي عَنْهُ حَدَّثَنَا سَيَّارُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ مَحْمُودٌ الصَّدَفِيُّ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَفَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

Telah menceritakan kepada Kami Mahmud bin Khalid Ad Dimasyqi dan Abdullah bin Abdurrahman as-Samarqandi berkata; telah menceritakan kepada Kami Marwan, Abdullah berkata; telah menceritakan kepada Kami Abu Yazid Al Khaulani ia adalah syekh yang jujur, dan Ibnu Wahb telah meriwayatkan darinya, telah menceritakan kepada Kami Sayyar bin Abdurrahman, Mahmud Ash Shadafi berkata; dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitrah untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya sedekah diantara berbagai sedekah. (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishohihkan oleh Hakim)


Pemahaman yang selama ini beredar di tengah-tengah masyarakat bahwa mustahiq zakat fitrah sama dengan mustahiq zakat mal yaitu delapan ashnaf disandarkan pada al-Quran surat at-Taubah ayat 103 dan 60:

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. at-Taubah : 103)

*إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.(QS. at-Taubah : 60)

Juga bersandar pada ayat lain dan hadits-hadits yang menjelaskan berkenaan dengan delapan ashnaf.

Penjelasannya adalah sebagai berikut:

Tidak ada yang salah ataupun bertentangan antara ayat dengan hadits-hadits yang menjelaskan tentang mustahiq zakat. Namun, perlu dipahami bahwa surat at-Taubah ayat 103 di atas merupakan dalil umum yang membahas berkenaan dengan zakat mal (harta) atas seluruh harta dan bukan membahas zakat fitrah. Hal ini dapat dilihat dalam frasa “min amwalihim” (dari harta mereka) yang secara sharih (jelas) menunjukkan kepada zakat mal (harta) bukan zakat fitrah, karena zakat fitrah adalah zakat atas jiwa orang yang shaum, bukan zakat atas harta (mal).

Imam as-Syafi’i lebih jauh menjelaskan dalam kitab ar-Risalah halaman 87 bahwa ayat 103 surat at-Taubah tersebut  dikeluarkan sebagai ayat/dalil umum atas seluruh harta (as-Syafi’i, ar-Risalah hal. 87/250).

                    Sementara frasa _“wa thu’matan lil masaakiin”_ (dan untuk memberi makan orang-orang miskin) yang terdapat dalam hadits tentang zakat fitrah dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Ibnu Majah tersebut merupakan frasa yang mentahkshish (mengkhususkan) dari keumuman dalil tentang delapan ashnaf dari QS. at-Taubah ayat 60. Karena salah satu fungsi hadits adalah untuk mentakhshish keumuman dalil. Sehingga dapat disimpulkan bahwa khusus untuk zakat fitrah hanya diberikan kepada orang-orang fakir miskin. Sementara itu, pembagian pada delapan ashnaf berlaku dalam zakat mal (harta), infaq dan shadaqoh sunnah.
Siapakah ‘amilin itu?

*Amilin* adalah pegawai yang diangkat oleh Khalifah (kepala negara islam) untuk mengurusi baitul mal (kas negara) termasuk di dalamnya urusan zakat. Sehingga dalam konteks saat ini di mana sistem yang diterapkan bukan sistem Islam maka sejatinya ‘amilin itu tidak ada. Karena amilin itu adalah pegawai tetap yang diangkat oleh khalifah dan digaji dari kas negara.

Dalam kekhilafahan, Negara khilafah (Negara islam) adalah institusi pelaksana hukum syariah secara kaffah (sempurna), termasuk dalam menangani pengelolaan zakat, bukan lembaga-lembaga yang lainnya apalagi DKM.

Akan tetapi, untuk saat ini dalam rangka membantu masyarakat mendistribusikan zakat fitrah pada khususnya, maka di setiap DKM boleh dibentuk panitia zakat tetapi tidak bisa disebut amilin. Konsekuensinya adalah panitia zakat tidak terkategori sebagai salah satu dari delapan asnaf, sehingga tidak bisa memperoleh bagian dari zakat, apalagi dari zakat fitrah, karena zakat fitrah khusus untuk dua asnaf yaitu fakir dan miskin.

Untuk mengupah panitia tersebut bisa diambil dari kas DKM, bukan dari zakat.

والله أعلم بالصوب


Kitab-kitab Rujukan:

_Kitab ar-Risalah Karya Imam as-Syafi’i, al-Aqsho_
_Kitab Bulughul Maram min adilatil ahkam karya Ibnu Hajar al-‘Atsqolani, Darul kutub ‘alamiya_
_Kitab subulus salam (syarah bulghul maram) karya imam muhammad bin ismail kahalany, Diponegoro_
_Fiqih empat madzhab karya syaikh al-‘Alamah muhammad bin Abdurrahman ad-Dimsyaqi, Hasyimi Press_
_Kitab hadits sohih Bukhari_
_Kitab hadits sunan Tirmidzi_
_Kitab hadits sunan Abu Dawud_
_Naylul Authar, maktabah syamilah vol. 2_
Fiqih ‘am, maktabah syamilah vol. 2_
_Kitab ushul Fiqih “Taysir al Wushul Ila al-Ushul” karya syaikh ‘Atho abu Rusythoh_
_al-Amwal fii ad-daulah al-khilafah karya syaikh Abdul qodim Zallum_
_Ajhizah daulah al-khilafah, min masyurot Hizbut Tahrir_

Comments

Popular posts from this blog

KISAH INSPIRATIF TENTANG: PERSAHABATAN DAN KETIDAKSEMPURNAAN

MEMAHAMI KONSEP : BERJAMAAH Kisah ini bermula saat musim paling dingin yang pernah terjadi. Banyak hewan mati karena kedinginan. Para landak yang menyadari situasi tersebut kemudian memutuskan untuk tinggal berkelompok agar tetap hangat. Dengan cara ini mereka akan saling melindungi. Sayangnya, duri-duri mereka membuat mereka saling terluka. Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk saling menjauhkan diri satu sama lain. Namun, ketika mereka mulai sendiri, mereka membeku, dan akhirnya mati. Mereka harus membuat pilihan, menerima dengan baik duri sahabat mereka atau menghilang dari bumi. Dengan bijak, mereka memutuskan untuk kembali bersama. Mereka belajar untuk hidup dengan luka kecil akibat hubungan dekat dengan teman mereka agar mereka tetap hangat. Dengan cara ini mereka mampu bertahan hidup. Saudaraku, persahabatan bukanlah menyatukan orang-orang yang sempurna, tapi  ketika setiap individu belajar untuk hidup dengan ketidaksempurnaan orang lain dan dapat mengagumi

Kajian Eksekutif Yukngaji (KEY) | 13 September 2015

Setelah sukses menyelenggarakan event Talkshow Inspiratif, komunitas #YukNgaji kembali mengadakan event bertajuk Kajian Eksekutif Yukngaji (KEY). Kajian Eksekutif Yukngaji (KEY) adalah program lanjutan dari komunitas #YukNgaji untuk membahas topik keIslaman secara komprehensif dengan penyampaian yang menarik bersama narasumber kompeten. KEY Jogja Ahad, 13 Septermber 2015 | 08.00-11.30 di Ruang Seminar Perpustakaan UGM Lt. 2 Registrasi Acara : sms/wa daftar_nama_key_jogja ke 089671810791 Note: Kajian Eksekutif Yukngaji (KEY) ini bisa diselenggarakan secara GRATIS karena amal kebaikan yang akan terus mengalir dari para donatur #YukNgaji. Jika anda ingin berpartisipasi, silahkan sampaikan infak terbaik anda ke rekening panitia BSM cabang Bogor no. rek 7034047426 an. Husain Assa'di atau bisa juga disampaikan langsung pada panitia saat acara berlangsung.

Waktu yang tepat mengucapkan Maasyaa Allah, Subhanallah, Alhamdulillah, Nauzubillah,

Assalamualaikum ana mau tanya ni akhi ketika kapan kita harus mengucapkan ma syaa allah, subhanallah, alhamdulillah, nauzubillah, dan lain sebagainya akhi. Ketika kapan atau mendengar peristiwa apa saja kita baca itu.. ✅Dijawab oleh Ust Satria : وَعَلَيْكُمُ السَّلاَمُ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ 1. SubhaanaLlah... سبحان الله = Maha Suci Engkau Yaa Allah Diucapkan tatkala kita mendengar atau melihat sesuatu yg kurang berkenan, misalnya kita mendengar ejekan terhadap asma Allah atau prkara agama lainnya. وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۖ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ "Mereka (orang-orang kafir) berkata: Allah mempunyai anak. (Subhaanahu) Maha Suci Allah, bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah kepunyaan Allah; semua tunduk kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah : 116) 2. Maa syaa Allah ﻣَﺎﺷَﺂﺀَﺍﻟﻠّﻪُ = Atas kehendak-Mu Ya Allah Diucapkan tatkala kita mendengar atau melihat sesuatu yg mengagumkan kita... وَلَ